Mungkin sudah jutaan kali aku mengucapkan kata itu dan mendengarnya
dalam berbagai versi. Lewat drama berseri di televisi, buku-buku yang
mengobral “aku cinta padamu”, dan para lelaki itu—mereka yang kerap
kukenalkan sebagai “kekasihku”. Tapi, hingga detik ini, aku tidak
benar-benar memercayai keberadaannya. Maksudku, lihat saja bagaimana
kita dengan mudah mengakhiri cinta dalam drama seri itu dengan mematikan
televisi. Menyudahi segala obral murah dalam buku-buku roman picisan
itu dengan menutupnya. Atau… bagaimana dia yang kusebut sebagai kekasih
mengakhiri cinta kami lewat sebuah pesan singkat.
Dan bagaimana semuanya sirna hanya dengan aku menghapus pesannya.
Jadi, katakan padaku, apa cinta benar-benar ada?
Tapi terlalu tragis rasanya kalau aku mengatakan aku tak percaya
cinta. Karena nyatanya, setelah kuhapus pesan si pengecut itu, aku
kembali berkencan. Aku mengikuti goukon—ajang cari jodoh yang
berkedok perkenalan, berjalan-jalan dan makan bersama, tapi tidak pernah
ada yang seperti Kawabata Haruto. Kami bahkan tidak berkenalan lewat goukon.
Anehnya, kehadiran Kawabata Haruto tidak bisa kuakhiri seperti drama
dalam televisi. Atau kututup dan kulupakan seperti buku-buku roman
picisan yang masih sering kubeli. Bahkan ketika aku bertemu dengan
“Iwata-san” yang sempat disebut Nobuko. Iwata-san
adalah tipe wanita yang bisa dengan mudah disukai oleh lelaki mana pun.
Dia memiliki tubuh langsing, tinggi, dan tampak lembut. Aku sempat
bertemu dengannya ketika berjalan-jalan dengan Nobuko sepulang kuliah.
“Tapi dia sebenarnya tukang dengkur dan sama sekali tidak bisa
memasak,” kata Kawabata Haruto. Aku bisa membayangkannya dengan senyum
bangga terplester di mulutnya saat aku menyinggung tentang kekasih
putus-nyambungnya itu. Sama seperti saat kami membicarakan Iwata-san
sebelumnya. Hari itu, kami sedang berbicara di telepon. Semestinya aku
datang menemuinya. Bukan untuk apa-apa, aku hanya harus menjalankan
tugasku sebagai pengkritik masakan Kawabata Haruto. Sampai hujan turun
dengan derasnya dan Iwata-san datang ke apartemen Kawabata Haruto.
“Lalu, kenapa kau jatuh cinta padanya?” tanyaku sambil mengamati jejak hujan di jendela kamar asramaku.
“Karena dia tidak bisa memasak.” Kawabata Haruto menjawab dengan spontan dan sederhana.
“Apa kau menyukai semua wanita yang tidak bisa memasak, Haruto-san?”
“Tentu, karena aku sendiri sedang belajar. Jadi mereka takkan bisa banyak mengeluh.”
Saat itulah aku mendengar suara Iwata-san. “Hei, aku bisa mengeluh, lho!”
“Tentu kau bisa mengeluh. Tapi tidak seperti Indi-chan.” Kemudian,
selama beberapa saat—oke, enam menit—percakapanku dan Kawabata Haruto
terhenti. Lelaki itu sedang berargumen dengan Iwata-san. Aku bisa mendengarnya lamat-lamat.
Mau tak mau, dalam imajinasiku terselip gambaran apartemen Kawabata
Haruto. Lelaki itu sedang berdiri di depan kompornya dengan celemek
terikat di pinggang, sementara di sampingnya Iwata-san terus
menggoda Kawabata Haruto. Masing-masing dengan segelas anggur di tangan.
Aku bisa membayangkan aura intimasi yang takkan bisa ditembus oleh
siapa pun. Termasuk diriku yang hanya mencuri dengar percakapan mereka.
Itukah cinta?
Apa cinta bisa dipasang dan dilepas seperti perhiasan? Dan begitu situasi membutuhkan kita bisa memasangnya lagi? Kawabata
Haruto baru teringat percakapan yang mesti diteruskannya denganku saat
Mao, kucing peliharaannya mengeong. Aku mendengar Kawabata Haruto
meminta Iwata-san menuang makanan untuk Mao.
“Iwata-san, Iwata-san.” Aku mendengar Haruto menyebut nama kekasihnya beberapa kali, suara derap kaki, kemudian pintu yang dibanting. “Maaf Indi-chan.”
Haruto mengakhiri percakapan kami. Awalnya aku tak tahu apa yang
terjadi. Dari Nobuko yang baru saja keluar dari kamar mandi aku akhirnya
tahu semuanya.
“Kau kenapa?” tanya Nobuko saat melihatku.
Aku pun menceritakan semuanya. Dan Nobuko membocorkan hubungan
Kawabata Haruto, tetangga kekasihnya, begitu saja. Bahwa Kawabata Haruto
adalah maniak kucing yang gemar membawa pulang anak-anak kucing
terlantar. Bahwa Iwata-san begitu membenci kucing.
“Kucing memang lucu. Tapi membawa pulang hampir semua kucing yang kau lihat hanya karena kasihan? Itu aneh. Kupikir Haruto-san
berhenti dari kebiasaan anehnya setelah mereka kembali bersama, tapi
sepertinya tidak, ya?” ujar Nobuko sambil mengeringkan rambutnya dengan
salah satu kaus usangnya—salah satu cara agar rambutnya tak pernah
kusut, Nobuko pernah berkata padaku. “Karena itu juga, aku tak heran
sewaktu melihat Haruto-san bersamamu dulu. Waktu itu kau agak mirip anak kucing yang terlantar, Indi-chan.”
Nobuko terkekeh lalu memunggungiku dan menyalakan televisi.
Aku agak tersinggung saat mendengar itu. Tetapi, saat aku mengingat
kembali pertemuanku dengan Haruto, aku tak bisa melakukan apa pun
kecuali mengamini ucapan Nobuko. Lagi pula, lelaki aneh mana yang malah
mengajak orang asing makan di apartemennya, kalau bukan karena dia iba.
Tapi, ini Kawabata Haruto yang sedang kubicarakan. Bisa jadi ada
beberapa alasan janggal di luar pikiran yang terlewat dari dugaan
Nobuko.
Aku tak paham cinta seperti apa yang sedang dijalani Kawabata Haruto dengan Iwata-san-nya.
Hari itu hingga kini. Sama seperti aku tidak memahami apa sebenarnya
yang ada di pikiran Kawabata Haruto. Aku menatap sosok Kawabata Haruto
yang ada di hadapanku saat ini. Dia masih tersenyum polos di depan
asramaku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan aku tidak sedang
mengigau; dia masih memegang sebuket bunga tulip merah muda di
tangannya.
Apa yang kau lakukan? Kawabata Haruto berkata padaku tanpa suara sambil mengerutkan kedua alis dan memiringkan kepala.
Kucing itu… suka ikan, kan? Dia juga suka mainan seperti gulungan
benang atau benda-benda yang menarik perhatiannya, kan? Lalu, kenapa
Kawabata Haruto malah membawakanku sebuket tulip merah muda? Seharusnya
dia membawa kupon makan sepuasnya atau voucher makan di restoran mahal, kan?
Aku mengenakan kardiganku yang selama beberapa menit ini kubawa.
Kemudian, kudorong pintu kaca asramaku dan berjalan ke arah Kawabata
Haruto. Aku berdeham, membersihkan tenggorokanku dan otakku. Bisa jadi
bunga itu bukan untukku. Bisa jadi Kawabata Haruto membawakannya untuk
Iwata-san.
“Bunga yang indah,” kataku begitu jarak kami hanya beberapa langkah.
Kawabata Haruto bergumam lalu tersenyum padaku seraya mengulurkan
buket bunga tulip itu. Hanya begitu saja dan otakku kembali keruh. Aku
menarik langkah mundur. “Apa itu?”
“Bunga, memangnya apa lagi, Indi-chan?” Kawabata Haruto tersenyum.
Berani-beraninya dia tersenyum sementara dia sudah membuatku bingung! “Tentu saja aku tahu itu bunga, Haruto-san. Aku punya dua mata untuk melihatnya! Tapi untuk apa!”
Kawabata Haruto kembali tersenyum padaku. Dia menarik tangan kananku dan menyerahkan buket bunga tulip itu padaku.
“Paling tidak terima dulu.” Tanpa penjelasan apa-apa lagi, Kawabata Haruto berjalan pergi.
Aku buru-buru mengikutinya. “Apa kau bertengkar dengan Iwata-san karena Mao lagi?”
“Tidak,” jawab Kawabata Haruto dengan begitu kasual. “Kami sudah putus.”
Baru beberapa hari mereka kembali bersama, mereka kembali berpisah?
Aku menyamakan langkah kami, atau lebih tepatnya Kawabata Haruto-lah
yang mengurangi kecepatannya begitu aku berada di sampingnya. “Cepat
sekali!” seruku.
“Hei, tidak sopan,” kata Kawabata Haruto. Seulas senyum lembut tampak
di wajahnya saat dia menoleh ke arahku. Senyum lembut yang biasa
ditunjukkannya saat dia membicarakan Iwata-san. “Kau ingin makan di mana sekarang, Indi-chan?”
Ketika Kawabata Haruto menyebutkan nama restoran yang ingin
kukunjungi, aku merasa semakin aneh. Kawabata Haruto tidak biasa
mengajakku makan di restoran. Dia selalu memasak untukku dan tak pernah
mau mengeluarkan uang lebih, selain yang sudah dihabiskannya untuk
bahan-bahan makanan yang disimpannya di lemari pendingin. Seperti kata
Nobuko, aku tak ada bedanya dengan Mao yang dipelihara oleh Kawabata
Haruto. Dan perubahan ini membuatku bingung. Salah satu hal yang paling
tidak aku sukai di dunia ini adalah menjadi bingung.
“Aku tidak bisa.” Aku menghentikan langkah. “Haruto-san, ada apa?”
Kawabata Haruto ikut berhenti dan dia kembali memamerkan senyumnya.
Tanganku mulai kesemutan dan ingin mengepal kemudian melayangkan satu
tinjuan yang bisa menghapus senyum polos itu dari bibir Kawabata Haruto.
“Memangnya perlu ada apa-apa dulu, baru kita bisa makan di restoran?” tanya Kawabata Haruto.
“Tentu,” kataku. Aku memang terbiasa mengikuti arus setiap kali kenalanku lewat goukon
mengajakku makan atau keluar, berbagi satu atau dua ciuman, walau aku
tahu kalau pada akhirnya kami tidak akan pernah lagi bertemu atau
menelepon. Tapi, Kawabata Haruto berbeda.
Aku mungkin tak ubahnya anak kucing yang dipungut Kawabata Haruto
kemudian disambanginya saat dia ingin memberi makan, seperti yang
dikatakan Nobuko. Tapi, meski demikian, aku kucing yang tahu diri. Lagi
pula…. Aku menunduk dan menatap bunga tulip di tanganku. Kucing tidak
butuh bunga, kan?
“Kawabata Haruto, ada apa ini?” tanyaku. “Kau mungkin sedang patah
hati, tapi bukan berarti kau bisa melibatkan orang lain di dalamnya.”
“Aku tidak patah hati kok, Indi-chan.” Kawabata Haruto berjalan ke arahku. “Sebaliknya, aku malah sedang berbunga-bunga.”
Aku mengernyit. Dan rupanya Kawabata Haruto masih cukup cerdas untuk menangkap bahwa aku tak memahami apa maksudnya.
“Aku sedang jatuh cinta.”
“Pada siapa?” tanyaku, mulai merinding.
“Pada gadis yang pagi ini menerima tulip dariku.”
Oh, Tuhan. Aku tak tahu apa yang terjadi berikutnya. Karena yang ada
di kepalaku hanya suara sirene dan lampu merah, mengisyaratkan aku harus
segera pergi. Harus segera menghindar dari Kawabata Haruto. Tapi aku
tidak mungkin melakukannya. Tidak ketika lelaki itu menarik tanganku dan
menggenggamnya.
Apa yang harus kulakukan?
Mereka mengatakan gadis yang sedang jatuh cinta melakukan hal-hal
yang konyol. Tapi kenapa seorang maniak spaghetti dan kucing melakukan
hal yang sama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar