"Alkisah, tersebutlah seorang guru yang tinggal bersama tiga orang
muridnya. Namun, walaupun ketiga muridnya itu belajar kepadanya, si guru
memberikan perhatian lebih kepada salah seorang dari tiga muridnya.
Perlakuan guru itu, tentu saja menimbulkan pertanyaan di dalam hati dua
orang murid lainnya. Akhirnya, mereka berdua mendatangi guru mereka dan
bertanya, "Wahai Guru, mengapa engkau memberikan perhatian lebih
kepadanya dibandingkan perhatian guru kepada kami."
Protes dari dua orang muridnya ini ditanggapi oleh si guru dengan
memanggil ketiga muridnya kemudian memberikan seekor burung dan sebilah
pisau kepada ketiganya, lalu berkata, "Wahai murid-muridku, sembelihlah
burung itu dengan sebilah pisau yang telah aku berikan kepada kalian
pada tempat yang sangat tersembunyi sehingga tidak ada yang melihat
perbuatan kalian."
Ketiga murid itu pun berpencar mencari tempat yang sesuai dengan
petunjuk si guru untuk menyembelih burung itu. Setelah itu, ketiganya
kembali mendatangi si guru untuk melaporkan tugas yang telah
dilaksanakan. Di hadapan si guru, murid pertama berkata, "Aku telah
berhasil melaksanakan perintah dan aku telah menyembelih burung itu di
tengah hutan dan tidak ada yang melihat perbuatanku." Sambil
memperlihatkan burung yang telah disembelihnya.
Lalu murid kedua melaporkan, "Aku juga telah berhasil melaksanakan tugas
dengan menyembelih burung itu di puncak gunung dan tidak ada yang
melihat perbuatanku." Ia pun memperlihatkan burung yang telah
disembelihnya. Tetapi, tidak demikian dengan murid ketiga. Ia belum
menyembelih burung itu.
Di hadapan guru dan kedua temannya, ia berkata, "Aku tidak bisa
melaksanakan perintah guru, sebab di manapun aku berada, walaupun orang
lain tidak melihat perbuatanku, tapi Allah senantiasa melihatnya."
Kemudian si guru pun berkata kepada kedua muridnya yang melakukan protes
tadi, "Sikap itulah yang membuatku lebih sayang dan lebih memperhatikan
dia daripada kalian berdua."
Sikap yang ditunjukkan oleh murid kesayangan si guru seperti pada kisah
di atas disebut dengan muraqabatullah. Berasal dari kata
raaqaba-yuraaqibu yang berarti mengawasi, mengamati, dan mengawal.
Dengan demikian, muraqabatullah berarti sikap seseorang yang selalu
merasa bahwa Allah SWT senantiasa mengawasi dan mengamati setiap tingkah
lakunya, di manapun dan kapanpun.
Muraqabatullah lahir dari keyakinan bahwa Allah SWT mengetahui semua
perbuatan manusia baik yang dilakukan secara sembunyi maupun
terang-terangan. Tidak ada perbuatan manusia sedikit pun yang luput dari
pengawasan-Nya. Allah berfirman, "Kepunyaan Allah-lah segala apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa
yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan
membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah
mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang
dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS 2: 284).
Muraqabatullah hendaknya menjadi sikap yang tertanam dalam jiwa setiap
mukmin. Jika demikian, maka segala bentuk kejahatan, kemungkaran, dan
kebatilan baik yang bersifat vertikal maupun horizontal tidak akan
terjadi lagi. Muraqabatullah akan membawa setiap perbuatan kita
senantiasa berorientasikan kebajikan.
http://alkisaah.blogspot.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar