Beberapa hari lalu sebuah video yang berisi jawaban Firanda
Andirja kepada seorang peserta majlis taklim seputar status kedua
orangtua Nabi Muhammad saw kembali beredar luas di media sosial. Redaksi Islam Indonesia
tidak dapat memverifikasi isi video itu maupun waktu kejadiannya. Hanya
saja apa yang disampaikan Firanda dalam video itu
dikemukakan seolah-olah sebagai pandangan mayoritas ulama Islam.
Padahal, pandangan itu hanya bersandar pada dua hadis dalam kitab Imam
Muslim yang tidak sesuai dengan standar Al-Shahihayn. Di samping
itu, pengkafiran atas kedua orangtua Nabi itu hanya puncak gunung es
dari sikap kalangan salafi wahabi yang gemar mengkafirkan dan
menyesatkan siapa saja, termasuk kedua orangtua Nabi. Atas dasar itu,
redaksi Islam Indonesia merasa perlu menanggapi.
Marilah kita mulai dengan memaparkan dua hadis yang menjadi
sandaran pengkafiran kedua orangtua Nabi yang termaktub dalam Shahih
Imam Muslim berikut ini.
Hadis pertama
Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, di manakah
ayahku berada?” Nabi saw menjawab, “Di dalam neraka.” Ketika orang itu
berpaling untuk pergi, beliau saw memanggilnya. Lalu Nabi saw berkata,
“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.” [HR Muslim
(203)]
Hadis kedua
Suatu saat Nabi saw pergi berziarah ke kubur ibunya. Sesampainya di
kuburan itu beliau saw menangis sampai membuat orang-orang di sekitarnya
ikut menangis. Lalu beliau saw berkata, “Aku telah meminta kepada Allah
agar mengizinkanku untuk memohonkan ampun baginya, namun Allah tidak
mengizinkan. Lalu aku memohon kepada-Nya agar mengizinkanku untuk
menziarahi kuburnya, dan Allah mengizinkan.” [HR Muslim (976)]
Dua hadis di atas adalah dalil utama pengkafiran dan pemvonisan atas
kedua orangtua Nabi sebagai penghuni neraka. Para pendukung dalil ini
juga sama sekali tidak memberikan peluang takwil atau majas dalam teks
kedua hadis di atas. Mereka memastikan, seperti yang dilakukan oleh
Firanda, bahwa kedua orangtua Nabi berstatus kafir dan masuk neraka.
Sekarang marilah kita kembali kepada Al-Qur’an untuk menemukan apa
kata Allah tentang status kedua orangtua Nabi yang telah wafat jauh
sebelum Nabi diutus sebagai Rasul.
Ayat pertama
QS 17: 15
Allah berfirman:
——————
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang
lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak akan mengazab seseorang atau
suatu kaum kecuali Allah mengutus Rasul bagi mereka. Sebelum kerasulan
Muhammad, yang kerap disebut sebagai “fatrah”, adalah masa sebelum
pengutusan, sehingga siapa saja yang meninggal di masa itu dapat
dianggap sebagai tidak terkena azab Allah.
Ayat di atas sesuai belaka dengan sejumlah ayat Al-Qur’an lain yang
menunjukkan bahwa kafir adalah status orang yang mengingkari kebenaran.
Nah, bagaimana mungkin kebenaran yang belum sampai kepada seseorang atau
suatu kaum dapat diingkari oleh mereka?!
Ayat Kedua
QS 71: 28
——————
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku
dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan.
Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain
kebinasaan.”
Ayat di atas menunjukkan doa Nabi Nuh kepada kedua orangtuanya yang juga
telah wafat sebelum masa kerasulan Nabi Nuh. Sikap Nabi Nuh di atas
tentu saja berdasarkan perintah Allah dan bukan semata-mata datang dari
keinginan sendiri. Perintah Allah kepada Nabi Nuh untuk meminta ampunan
bagi diri sendiri, kedua orangtua dan orang-orang mukmin yang masuk ke
rumahnya bukan saja tidak pernah secara tegas dilarang setelahnya
melainkan merupakan sunah para nabi terdahulu hingga Nabi Agung
Muhammad. Apalagi ayat yang mengandung doa di atas sudah jelas
dipanjatkan oleh Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu yang antara lain
berisi potongan ayat di atas. Dan setelah memastikan bahwa Nabi Muhammad
membaca ayat di atas dan memanjatkan doa sebagaimana yang dipanjatkan
oleh Nabi Nuh tersebut, marilah kita perhatikan ayat ketiga di bawah
ini.
Ayat Ketiga
QS 4: 64
——————
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya
dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Ayat ketiga di atas memastikan bahwa Allah akan mengabulkan permintaan
ampun Nabi bagi siapa saja. Tidak ada pengecualian di dalam ayat di
atas.
Ayat Keempat
QS 93: 5
——————
“Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah akan memberi apa saja yang
memuaskan hati Rasul. Ayat ini juga tidak memberi batasan tentang apa
yang dimaksud dengan kepuasan hati Nabi. Nah, sekiranya manusia biasa
saja tidak akan puas sampai kedua orangtuanya selamat di dunia dan di
akhirat, apalagi seorang Nabi yang disifati Allah sebagai amat belas
kasih dan penyayang (QS 9: 128) dan menjadi rahmat bagi sekalian alam
(QS 21: 107). Lantas, mungkinkah Nabi yang sangat penyayang dan penuh
belas kasih serta diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam ini tidak
dapat berbelas kasih dan tidak mampu menjadi rahmat kepada kedua
orangtuanya?!
Ayat Kelima
QS 26: 219
——————
“Dan (Dia melihat pula) perubahan gerak tubuhmu di antara orang-orang yang sujud.”
Menurut Ibn Abbas, ayat ini bermakna gerak tubuh Nabi saw di dalam sulbi
ayah-ayah (silsilah) beliau, sebelum beliau lahir, yang mana mereka
tergolong orang-orang ahli sujud. Berdasarkan ayat ini, Nabi adalah
keturunan orang-orang yang bersujud, dan bukan kafir sebagaimana tuduhan
sebagian orang.
Ayat Keenam
QS 9: 114
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya
tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada
bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah
musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.”
Imam Bukhari meriwayatkan, ketika sebagian Muslimin berpaling dari Nabi
saw dalam Perang Hunain, beliau saw bersabda, “Nabi tidak pernah
berbohong. Aku adalah keturunan Abdul Muthalib.” Di sini terlihat bahwa
Nabi saw membanggakan silsilahnya. Jika orangtua beliau saw benar-benar
kafir, alih-alih berbangga, tentu beliau akan berlepas diri dari mereka
sebagaimana perintah Allah dalam ayat di atas.
Beberapa Bantahan Lain
1. Boleh jadi para pendukung pengkafiran kedua orangtua Nabi akan
menakwilkan seluruh ayat di atas dan menafsirkan semuanya agar tetap
sesuai dengan dalil pengkafiran mereka atas kedua orang tua Nabi. Jika
mereka dapat berpegang pada takwil dan bukan teks semata-mata atas dalil
yang menunjukkan status keislaman dan keimanan nenek-moyang Nabi,
termasuk kedua orangtua Nabi, maka takwil yang sama dapat pula
diterapkan pada dua hadis yang mereka jadikan dasar pengkafiran.
Misalnya, kita dapat menakwilkan kedua hadis itu sebagai
bentuk kesopanan, atau keteguhan sikap, kerendahan hati dan sikap
penerimaan beliau atas apapun keputusan Allah. Dengan demikian, dua
hadis yang seolah-olah menunjukkan bahwa kedua orangtua Nabi masuk
neraka itu sesungguhnya ditujukan untuk mendidik umatnya dan
tidak dapat dipahami secara harfiah.
2. Pada dasarnya seluruh Muslim sepakat bahwa urusan surga dan neraka
adalah hak prerogatif Allah. Jika demikian, mengapa Nabi malah ikut
campur dalam menyatakan status kedua orangtuanya yang merupakan hak
prerogatif Allah? Apalagi, dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa tidak ada
yang mengetahui ilmu gaib kecuali Allah, termasuk status mereka kelak di
akhirat. Lebih anehnya lagi, kali ini ikut campur Nabi menentukan
status kedua orangtuanya bukan dalam rangka membawa berita gembira, tapi
berita buruk. Tidakkah lebih tepat kedua hadis itu dianggap lemah atau
bermaksud mendidik ketimbang kita menyesatkan akidah umat atau
melecehkan akhlak dan adab Nabi dengan menyatakan bahwa Nabi ikut campur
urusan yang merupakan hak prerogatif Allah?!
3. Mengapa Nabi dalam kasus ini terkesan bersikap vulgar, jauh dari
kesopanan dan seenaknya sendiri? Padahal, Nabi dikenal sangat sopan dan
santun menghadapi siapa saja. Bukankah ini sama sekali bertentangan
dengan sikap dan kebiasaan Nabi? Bukankah sikap seperti ini bakal
membuat kaum musyrik kian jauh dari Islam?
4. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Sungguh Allah
telah memilih Bani Hasyim di antara suku Quraisy, dan memilih aku di
antara Bani Hasyim.” Ini menunjukkan bahwa silsilah Nabi saw adalah
orang-orang pilihan, yang tentunya terjaga dari kemusyrikan dan
kekafiran.
5. Kedua hadis Imam Muslim yang menjadi dalil utama para pengkafir
kedua orangtua Nabi tidak diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Menurut
sebagian pakar hadis, ini menurunkan derajat kesahihan kedua hadis yang
tidak mengikuti standar Imam Bukhari dan tidak disepakati oleh kedua
pakar hadis tersebut.
6. Keduanya merupakan hadis ahad (diriwayatkan melalui satu jalur).
Dan para ulama hadis (baik klasik maupun modern) menetapkan bahwa hadis
ahad tidak bisa digunakan sebagai dalil dalam urusan akidah.
7. Hadis pertama yang menjadi dalil para pengkafir diriwayatkan oleh
Hamad bin Salamah, dari Tsabit. Sebagian ulama mentsiqahkan Hamad, tapi
sebagian lainnya menolaknya. Imam Bukhari tidak mau meriwayatkan hadis
darinya lantaran Hamad kerap melakukan kesalahan. Hamad sering
meriwayatkan tafsiran hadis dan bukan meriwayatkan lafaz hadisnya. Abu
Hatim dalam kitab “Al-Jarh wa Al-Ta’dil” menyatakan bahwa daya ingat
Hamad memburuk di masa akhir usianya. Az-Zayla’i dalam kitab “Nashbu
ar-Rayah” menyatakan bahwa daya ingat Hamad memburuk ketika sudah lanjut
usia, karena itu sebaiknya tidak berdalil dengan hadisnya yang
bertentangan dengan hadis-hadis tsiqah. Bahkan, sebagian ulama
menganggap hadis-hadisnya munkar, disebabkan peran putra tirinya yang
dinilai suka merekayasa hadis-hadisnya.
8. Hadis pertama juga diriwayatkan oleh Mu’ammar, dari Tsabit. Namun,
di dalamnya tidak menyebut ayah Nabi saw berada di neraka. Hadis itu
hanya menyebutkan bahwa Nabi saw bersabda, “Ketika engkau melewati
kuburan orang musyrik, maka kabarkan kepadanya tentang neraka.” Daya
ingat Mu’ammar tidak pernah diragukan, demikian pula riwayatnya tidak
pernah diingkari. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadis
darinya. Karena itu, riwayat Mu’ammar jelas lebih kuat.
9. Terdapat riwayat lain dari jalur Sa’ad bin Abi Waqqash yang senada
dengan riwayat Mu’ammar di atas, yaitu tidak menyebut ayah Nabi saw
berada di neraka. Riwayat Sa’ad ini dikeluarkan oleh Al-Bazzar,
Al-Thabarani, dan Al-Baihaqi. Di riwayat ini Nabi saw hanya berkata,
“Ketika engkau melewati kuburan seorang kafir, maka kabarkan kepadanya
tentang neraka.”
10. Terdapat beberapa ulama salaf yg menyanggah kedua riwayat Imam
Muslim tersebut. Di antaranya adalah Imam Jalaluddin Al-Suyuthi,
yang menulis tiga risalah khusus seputar tema ini. Yang paling masyhur
adalah risalah “Al-Ta’zhim wa al-Munnah fi anna Abaway Al-Naby fi
al-Jannah”. Lainnya adalah Qadhi Abubakar ibn ‘Arabi, yang secara tegas
berkata, “Ketika kita ditanya seputar orangtua Nabi saw berada di
neraka, maka jawablah: ‘Terkutuklah orang yang berkata seperti itu!’”
11. Rasulullah pernah bersabda, ”Aku selalu berpindah-pindah dari
tulang sulbi orang-orang/laki-laki yang suci dan ke dalam rahim-rahim
wanita yang suci pula.” Hadis ini diriwayatkan dalam kitab Al-Sirah
Al-Halabiyyah juz 1, hal. 35 dan 70; Tafsir Al-Alusi juz 7, hal. 195
dalam menafsirkan QS 6: 74; Tafsir Al-Bahr Al-Muhith juz 7, hal. 45
dalam menafsirkan QS 26: 219; dalam Tafsir Al-Razi juz 13, hal. 39 dalam
menafsirkan QS 6: 74 dan di juz 24, hal. 174 dalam menafsirkan QS 26:
219.
12. Nabi saw juga pernah menjelaskan bahwa nasabnya adalah suci
(ayah-ayahnya adalah keturunan manusia yang suci), ”Saya Muhammad bin
Abdillah bin Abdul Muthollib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin
Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizaar.
Tidaklah terpisah manusia menjadi dua kelompok (nasab) kecuali
aku berada di antara yang terbaik dari keduanya. Maka aku lahir dari
ayah-ibu yang tidak terkena ajaran jahiliyyah dan aku terlahir dari
pernikahan (yang sah).Tidaklah aku dilahirkan dari orang jahat sejak
Adam sampai berakhir pada ayah dan ibuku. Maka aku adalah pemilik nasab
yang terbaik di antara kalian dan sebaik-baik nasab (dari pihak) ayah.”
Lihat Al-Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah. Imam Hakim juga
meriwayatkan hadis di atas dari Anas bin Malik. Hadis yang
sama diriwayatkan pula oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya juz 2, hal.404
dan Imam Ath-Thobari dalam tafsirnya juz 11, hal. 76.
(DarutTaqrib/IslamIndonesia.id/Adrikna!)
Translate
About Me

Tidak ada komentar:
Posting Komentar